Tuesday, February 20, 2018

Day 3rd - Autumn Flowers Korea Trip - Nami Island, DDP Plaza




Day 3rd - 02 November 2017

Tujuh hari di Seoul, tujuh hari juga alarm pagi tidak pernah berhasil membangunkan kami. Kami selalu baru bangun jam 8 pagi dan keluar hotel dua jam kemudian, lalu kompak menyalahkan Accuweather yang selalu menunjukkan angka di bawah 4 derajat. Angka yang terlalu dingin untuk niat baik.

Rencana hari ini cukup ambisius: menjelajah Nami Island, Petite France, dan The Garden of Morning Calm. Tapi kenyataan berkata lain. Kami baru sampai di Stasiun Cheongnyangni jam 10.20, dan rencana naik ITX Cheongchun langsung bubar. Bukan karena penuh, tapi karena mesin tiketnya tidak punya opsi Bahasa Inggris. Sementara otak kami pagi itu masih versi beku, jadi kami pasrah naik subway biasa.

Untungnya ada kursi kosong dan keretanya tidak perlu pindah jalur. Jadi perjalanan dua jam ke Gapyeong kami habiskan dengan duduk manis

Begitu keluar stasiun, antrean Gapyeong Tour Bus sudah mengular. Tiket seharga 6.000 won kami bayar langsung ke Pak Supir. Tiket ini bisa digunakan seharian untuk keliling Gapyeong naik shuttle bus, cukup tunjukkan ke Pak Supir setiap kali naik.
Sekitar 15 menit kemudian kami tiba di area parkir Gapyeong Wharf. Karena tidak tahu arah, kami pun mengikuti rombongan turis asal China. Mereka tampak yakin, jadi kami ikut saja... dan taraaaa! Kami sampai di Immigration Gate Nami Island. Terima kasih, rombongan random!😀

Ada 2 cara menuju Nami Island dari sini. 

  • Cara biasa : Naik kapal 15 menit seharga 8000 Won (PP) yang  berangkat tiap 10-20 menit
  • Cara extreme : Zipware sejauh 940 meter selama 4 menit seharga 38.000 Won. 

Kami tentu saja memilih naik kapal. Yang kami tuju pulau, jadi melewati air itu masuk akal. Kenapa harus bergelantungan ketakutan di udara kalau ada pilihan nyaman? (Kipas-kipas 38.000 won sambil ngopi.)

Pulau kecil berbentuk setengah bulan ini dikenal dengan nama Nami Island, atau dalam bahasa Korea disebut Namiseom. Ukurannya hanya sekitar 460.000 meter persegi—lebih kecil dari kebanyakan kelurahan di Jakarta—tapi reputasinya mendunia. Semua gara-gara satu drama legendaris: Winter Sonata.
Patung pasangan legendaris Joon-sang dan Yoo-jin masih berdiri di tengah pulau, seolah mengajak pengunjung bernostalgia pada adegan cinta yang dulu menggetarkan Asia.

Meski terkenal karena salju dalam drama, Nami di musim gugur justru lebih magis. Jalan setapak dipayungi deretan ginkgo kuning keemasan, maple merah menyala, dan pinus hijau yang tenang. Daun-daun jatuh perlahan seperti menyambut langkah kaki setiap pengunjung, menciptakan suasana romantis yang alami. Cocok untuk mereka yang sedang jatuh cinta, atau sekadar ingin menghirup udara yang tenang dan melupakan dunia sejenak.

Tak ada kabel listrik yang mengganggu pandangan, tak ada mobil yang bising—hanya jalan kaki, sepeda, dan ketenangan yang menyambutmu.

Cantik, teduh, dan penuh nostalgia—Nami Island di musim gugur adalah tempat di mana keheningan pun terasa hangat 






























Saking asyiknya menikmati pesona Nami, kami tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Matahari musim gugur memang cepat pamit, dan hawa dingin yang mulai menyusup membuat kami kehilangan semangat untuk lanjut ke Petite France.

Kami pun kembali ke Seoul dengan naik subway. Tapi kali ini keberuntungan tidak berpihak. Dua jam penuh kami harus berdiri, berdesak-desakan dengan para pekerja yang pulang. Kereta juga tak sampai ke Cheongnyangni seperti saat berangkat, melainkan hanya sampai di Mangu. Karena belum ingin pulang ke hotel, kami naik kereta arah Wangsimni dan turun di Dongdaemun History & Culture Park.

Keluar dari Exit 1, kami langsung disambut bangunan besar mirip pesawat UFO mendarat: Dongdaemun Design Plaza (DDP). Karya Zaha Hadid yang memang ikonik
Area terbukanya luas dan sering dipakai untuk tempat nongkrong, street art, hingga pertunjukan musik gratis. Saat kami tiba, ada pameran lampu seni yang unik dan mencuri perhatian. Beberapa instalasi terlihat seperti bunga bercahaya, yang lain menyerupai lentera modern.






Dari DDP, kami berjalan menanjak menelusuri taman untuk mencari ladang mawar putih yang terkenal itu. Saat malam tiba, tepat ketika langit berubah menjadi biru gelap, 25.550 bunga mawar LED mulai menyala satu per satu, menciptakan pemandangan yang begitu magis. Cahaya putihnya berpendar lembut, membentuk ladang bercahaya di tengah kota.

Gedung-gedung pencakar langit menjulang di belakangnya, memberikan kontras modern yang dramatis. Suasananya romantis, bahkan melankolis. Banyak pasangan Korea yang duduk berdua, berfoto dengan latar mawar bercahaya, tapi jumlah turis yang sibuk bergaya di depan kamera mungkin dua kali lipat lebih banyak—termasuk kami.






Setelah puas mengalay di DDP dan menyerah pada dinginnya udara malam yang makin menggigit, kami pun memutuskan kembali ke hotel. Di perjalanan pulang, kami kembali membicarakan rencana besok: berangkat pagi-pagi ke Haneul Park. Niatnya sudah mulia, semangatnya sudah 80 persen.

Tapi yah... kami memang selalu penuh niat—eksekusinya belakangan. 😄







No comments:

Post a Comment