Friday, March 2, 2018

Day 4th - Autumn Flowers Korea Trip - Haneul Park - Gwanghamun - Buckcheon


Day 4th, 03 November 2017

Seperti biasa, kami keluar dari hotel pukul 10.30 dan langsung mampir ke 7-Eleven dekat stasiun subway untuk membeli sarapan. Rencana hari ini adalah keliling Seoul, dan tujuan pertama kami: Haneul Park.

Kami kembali ke parkiran tempat tersesat kemarin, tetap tak menemukan shuttle bus meski sudah berputar-putar. Terus melangkah, kami tiba di jembatan biru berbunga jingga dengan tangga panjang yang menanjak. Sebagai pecinta ojek online, aku hanya melambaikan tangan pada 291 anak tangga itu dan lanjut menuju loket shuttle di ujung kanan jembatan. Tiketnya 3.000 won.

Haneul Park, dulunya bukit sampah Nanjido, disulap pada awal 2000-an menjadi taman ekologis yang kini dipenuhi ilalang menari ditiup angin musim gugur, menggantikan kekumuhan masa lalunya.

Dari atas shuttle, ilalang bermekaran menyambut. Tertata rapi dalam pagar kawat, bergoyang tertiup angin musim gugur. Suasananya tenang dan romantis—langkah kaki menyusuri ilalang yang tinggi, angin dingin menyapa wajah, dan dari dek kayu, Seoul terlihat jauh di bawah sana. Rasanya seperti dunia melambat.


Beautiful Blue Pedestrian Bridge  berbunga JIngga

Ketemu Harabeoji yang mau motoin kita :D
ilalang-ilalang menghalangi pandangan (tariiik mang :D )
katanya sih takut ular.. eh malah mager cantik :D
Hasil Photo Haraboeji :)
Narcis di Three Bowl

Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang saat Mbak Yeni mengajak pergi ke tempat lain—kami memang sudah sepakat untuk tidak berlama-lama di satu tempat. Tapi percuma, setiap kali melihat pohon berdaun warna-warni, kami berhenti lagi. Hanya karena bentuknya sedikit berbeda, kami lupa kalau itu tetap saja maple atau ginkgo. 😁

Dari Haneul Park, kami menuju World Cup Stadium dan menyempatkan masuk ke Home Plus, sebuah mall besar yang menawarkan hampir 35.000 produk. Lantai yang kami datangi dipenuhi pakaian, sepatu, dan perlengkapan musim dingin. Tapi sebagai Tropis Girls, kami hanya bisa window shopping. Keluar dari Home Plus, Mbak Yeni langsung kabur ke kedai kopi. Aku menyusul ke 7-Eleven di dekat pintu masuk World Cup Station untuk membeli makan siang. Yang menyenangkan dari Seoul adalah taman-tamannya selalu dilengkapi tempat duduk. Menikmati secangkir cokelat hangat dan dorayaki sambil duduk di taman yang dipenuhi pohon maple rasanya bikin perut tiba-tiba ngidam nasi Padang 🙊

Selesai makan, kami lanjut menuju Gwanghwamun Station, dengan transit terlebih dulu di Stasiun Gongdeok. Keluar dari Exit 2, kami langsung disambut patung King Sejong dan Admiral Yi Sun-sin yang dikelilingi puluhan titik air mancur. Sayangnya, karena kami datang di bulan November, air mancur itu tidak menyala.

Gwanghwamun Square ini dibangun dengan memangkas enam ruas jalan utama di tengah Sejong-ro, jadi bayangkan saja betapa luasnya. Tempat ini sering menjadi lokasi berbagai event, dari pameran hingga demonstrasi. Saat kami datang, ada banyak stan yang memajang foto-foto hitam putih para korban tragedi tenggelamnya Kapal Sewol. Ada juga aksi penolakan kedatangan Donald Trump—mereka bahkan membuat parodi dengan lagu Gangnam Style


Cheonggye Plaza titik awal Chenggyecheon Stream

Dari Gwanghwamun kami berjalan kaki menuju Gyeongbokgung Palace. Namun karena jam sudah menunjukkan pukul empat—yang artinya sebentar lagi akan tutup—kami hanya lewat dan langsung melanjutkan perjalanan panjang ke Bukchon Hanok Village.

Perjalanan dari Gyeongbokgung ke Bukchon memakan waktu hampir satu jam. Lama? Ya, selain karena kaki kami model hobbit, trotoar Seoul yang lebar itu seperti digelar karpet dari daun-daun ginkgo dan maple, membuat membuat kami menikmati setiap langkah. Sepanjang jalan juga banyak turis mengenakan hanbok. Harus diakui, hanbok memang terlihat lebih cantik saat dipakai narsis di Bukchon.

Sore menjelang membuat udara semakin dingin. Seperti biasa, Mbak Yeni langsung berbelok mencari Americano, sementara aku memilih nasi kare untuk early dinner. Setelah urusan perut selesai, kami melangkah ke arah Bukchon. Kami tak tahu pasti di mana letak Bukchon Hanok Village yang sering dipromosikan di brosur-brosur tur, jadi kami terus bertanya pada petugas berbaju pink
—relawan pariwisata resmi kota Seoul—yang berjaga di setiap sudut jalan. Tapi jawabannya selalu sama: "Naik ke atas." Capek juga dengarnya. Akhirnya, kami mengikuti dua turis bule yang tampak sedang dipandu seorang guide.

Mungkin karena sadar kami membuntuti, salah satu turis bule tiba-tiba menoleh dan menatapku.

“Philippines?” tebaknya.
Aku menggeleng. “Indonesia.”
“Wow... Muslim?” Kami mengangguk.
“Assalammualaikum,” sapanya hangat.
“Waalaikumsalam,” jawabku sambil tersenyum.

Ia lalu mengajak main tebak-tebakan: “Where am I from?”

Wajah bule, rambut hitam, hidung tajam— membuatku berpikir dia dari India. Tapi logatnya sangat tidak India. aku mulai menebak. 

“Dubai? Turkey?”

"No… Iran!" jawabnya, terdengar bangga. Ternyata dia sedang dalam perjalanan bisnis bersama seorang temannya.

Sambil mendengarkan ceritanya, mataku menangkap siluet atap-atap Hanok yang mulai diterpa cahaya senja berwarna merah tembaga. Desa yang kami cari akhirnya terbentang di depan mata, membuat kami pamit dengan senyum hangat.

Bukchon Hanok Village adalah kawasan pemukiman tradisional di pusat Seoul yang dulunya dihuni para bangsawan Dinasti Joseon. Terletak di antara Gyeongbokgung dan Changdeokgung, desa ini mempertahankan lebih dari 900 hanok—rumah tradisional Korea dengan atap melengkung, pintu geser, dan pekarangan kecil.

Tidak seperti replika di desa wisata, hanok di Bukchon masih dihuni warga lokal. Beberapa di antaranya dibuka sebagai galeri, rumah teh, atau pusat budaya. Karena ini area permukiman aktif, wisatawan diminta menjaga ketenangan. Foto boleh, tapi hindari suara keras, merokok, menyentuh properti, atau membuang sampah sembarangan. Rumah-rumah ini bukan pajangan, tapi warisan hidup yang dihormati.




Turun dari Bukchon, kami sempat mampir ke toserba tradisional dan membeli telur serta tauge dengan batang super panjang untuk tambahan makan malam. Kami juga masuk ke toko oleh-oleh khas Korea—ginseng, rumput laut, dan rice cake pun ikut antre di kasir.

Sebenarnya jarak ke hotel hanya 15 menit jalan kaki. Tapi karena udara malam semakin dingin dan kami tak ingin tersesat lagi, kami memilih naik subway dari Anguk Station.

Keluar di Jongno 3(sam)-ga, kami sempat singgah ke 7-Eleven untuk menyapa Oppa penjaga toko langganan. Aku membeli nasi kimchi untuk makan malam, lalu kami segera kembali ke hotel—besok harus bangun pagi untuk mengantre masuk ke Secret Garden.



No comments:

Post a Comment