Angka 4 derajat menyambut kami jam 9 pagi saat keluar dari hotel. Tujuan kali ini cukup mulia: mengantri di Changdeokgung demi mendapat tiket masuk ke Huwon—Secret Garden yang legendaris itu. Tiketnya terbatas, hanya 50 lembar untuk pembelian langsung. Jadi harus siap-siap bertarung… secara elegan tentu.
Sebenarnya, jarak dari hotel ke Changdeokgung bisa dibilang selemparan sumpit. Tapi karena resepsionis belum standby dan kami malas tersesat pagi-pagi dalam suhu dingin, ditambah fakta bahwa musim gugur adalah high season-nya istana ini, kami memilih aman: naik MRT.
Keluar di Exit 3 Stasiun Anguk, kami langsung disambut pemandangan yang membuat lutut sedikit gemetar—bukan karena dingin, tapi karena antrian yang sudah mengular panjang. Ternyata bukan hanya kami yang sedang mengejar taman rahasia pagi ini.
Jam 10.10 pagi, angka tiket yang tersedia untuk Huwon English Tour pukul 10.30 hanya tersisa sembilan. Padahal di depan kami masih ada cukup banyak pengantri. Ahjumma Yeni berkata, “Kita ambil yang siang saja, daripada terburu-buru jalannya.” Aku hanya tersenyum. Mereka mungkin belum tahu betapa luasnya kompleks istana, apalagi jika harus bolak-balik lagi jam 13.30. Lebih baik berlari lima menit daripada harus kembali dua jam kemudian, kan?
Jam 10.15, tiket untuk tour 10.30 masih tersedia. Aku langsung membeli tiket kombinasi seharga 10.000 KRW—tiket ini bisa digunakan masuk ke Istana Changdeokgung, termasuk Huwon (Secret Garden), juga Istana Changgyeonggung, Deoksugung, Gyeongbokgung, dan Kuil Jongmyo. Setelah tiket di tangan, kami setengah berlari menuju Hamnyangmun, titik pertemuan tur. Saat kami tiba pukul 10.25, gerbang masih sepi. Kami jadi yang pertama sampai. Kalimat “jangan datang terlambat” yang kubaca dari blog ke blog sepertinya tidak berlaku hari ini.
10.30, satu per satu turis mulai berdatangan. 10.40, kami mulai mengantri masuk. Aku tak terlalu memperhatikan pengarahan dari petugas tiket karena kupikir akan ada tour guide yang memimpin. Tapi semakin jauh kami melangkah, semakin tak terlihat siapa pun memandu. Akhirnya, kami pun mengeksplor Huwon sendiri.
Huwon, atau Secret Garden, berarti "Taman Belakang"—luasnya mencapai 32 hektar, tersembunyi di balik Istana Changdeokgung. Taman ini dibangun saat masa Raja Taejong dan diperluas oleh Raja Sejo. Awalnya hanya diperuntukkan bagi keluarga kerajaan, bangsawan, dan selir-selir istana untuk beristirahat dan merenung.
Kini, jejak-jejak itu terasa di tiap sudutnya: kolam teratai yang tenang, paviliun kayu yang seakan menyembunyikan bisik-bisik masa lalu, hingga pepohonan tua yang menjulang—beberapa bahkan berusia lebih dari 300 tahun. Terdapat lebih dari 26.000 pohon dan tanaman, menyusun lanskap alami yang seolah membekukan waktu.
Changdeokgung sendiri adalah satu-satunya istana di Seoul yang tercatat sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO, karena keindahan arsitekturnya yang menyatu harmonis dengan alam di sekelilingnya. Dan mungkin itulah kenapa, saat kaki lelah melangkah, hati kami justru terasa ringan—seolah ikut larut dalam sunyi agung yang tersimpan ratusan tahun lamanya.
Gate of Eternal Youth (불로문 / 불로문) Pintu batu bertuliskan Kanji yang bermakna panjang umur. Banyak percaya ini bisa mengabulkan harapan jika disentuh dengan tulus. Dan ya, ini sering jadi spot favorit pemotretan hanbok selfie—kalau bukan untuk permintaan awet muda, ya demi estetika Instagramable.
Huwon Tour bersama guide seharusnya berlangsung selama 1,5 jam. Tapi karena kami muter sendiri, tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul 1.30. Kami pun keluar dan menuju Gyeongbokgung Palace, yang cukup belok kiri dan berjalan lurus dari pintu keluar.
Kami lanjut berjalan ke belakang, melewati aula-aula yang katanya ‘serupa’, dan masuk ke taman yang katanya ‘berbeda’.
Debat kecil berakhir tanpa jawaban. Tapi langkah kami tetap seirama.
Istana Gyeongbok adalah istana terbesar dari lima istana utama Dinasti Joseon, terletak di kawasan utara Seoul (Gangbuk). Megah dan bersejarah, istana ini jadi ikon penting Korea Selatan.
Tujuan utamaku sebenarnya sederhana: ingin melihat langsung dua paviliun legendaris yang sering muncul di drama-drama saeguk — Gyeonghoeru dan Hyangwonjeong. Tapi sayangnya, aku hanya mengingat bentuknya, bukan namanya. Efek browsing gambar doang, bukan baca penjelasan. 😔
Dari Heungnyemun Gate, kami malah belok ke kanan, membuat Gyeonghoeru Pavilion yang berada di sebelah kiri tertutup oleh deretan aula tempat raja dulu bekerja. Alhasil… paviliun paling ikonik itu malah kelewat begitu saja.
Dari Sajeongjeon Hall, aula kerja utama raja, kami berjalan ke belakang menuju Amisan, taman kecil di balik kediaman ratu. Taman ini terkenal dengan empat cerobong asap berhias motif bunga dan kelelawar—simbol keberuntungan dalam budaya Joseon.
Keluar dari Amisan, kami menyusuri jalur ke timur laut dan disambut oleh pohon ginkgo besar yang sedang emas-emasnya. Daunnya berguguran halus, menciptakan lanskap musim gugur yang menawan—spot wajib kalau sedang berburu suasana autumn di istana.
Tak jauh dari sana, berdiri National Folk Museum di sisi kanan, tapi kami terus berjalan hingga uju. Di sanalah berdiri Hyangwonjeong Pavilion, paviliun kecil dua lantai berbentuk heksagonal yang berdiri di atas pulau buatan di tengah danau Hyangwonji. Bangunan yang didirikan atas perintah Raja Gojong pada tahun 1873 ini tampak cantik meski sedang dalam tahap rekonstruksi. Kami tak bisa masuk, tapi tetap bisa melihat siluet anggunnya melalui celah-celah gerbang yang dilapisi kaca.
Aku pun berjalan pelan mengitari area luar museum. Di tangga depan gedung, beberapa pot bunga krisan disusun rapi. Warnanya mencolok—kuning dan ungu tua—dibentuk bulat padat seperti bola besar. Tidak ada bau menyengat, hanya kesan bersih dan rapi yang memanjakan mata di antara batu-batu tangga abu-abu.
Tak jauh dari sana, berdiri pagoda batu lima tingkat. Bangunan ini dulunya bagian dari kuil Gyeongcheonsa, dan sekarang menjadi salah satu landmark halaman museum. Spot foto wajib, Light, Camera, Action..
Hari masih sore saat kami keluar dari Gyeongbokgung. Ajumma Rahmah langsung minta diantar ke Dongdaemun. Katanya, ada toko souvenir di lantai 5 Doota Mall, namanya Arirang—rekomendasi dari temannya yang katanya sudah jadi "kolektor gantungan kunci profesional."
Begitu sampai, kami disambut hangat. Mungkin karena banyak mahasiswa Indonesia kerja paruh waktu di sana, jadi auranya familiar dan tidak terlalu "turis banget." Soal harga? Jelas lebih bersahabat dibanding Myeongdong. Gantungan kunci, magnet kulkas, hingga kalender meja BTS dan Wanna One—semuanya lebih murah dari kios-kios di pinggir jalan Dongdaemun. Ajumma Rahmah pun terlihat bahagia, seperti menemukan harta karun Korea.
Selesai dari Dongdaemun, kami mampir lagi ke Myeongdong. Kali ini ajumma Rahmah berburu jastip. Aku? Sudah cukup dengan drama belanja. Jadi aku memilih duduk di salah satu sudut, ditemani tiupan angin 6 derajat yang makin lama makin terasa seperti silet.
Hampir satu jam duduk sendirian, aku mulai merasa didatangi suara-suara halus—bukan karena mistis, tapi karena dingin. Sungguh, aku yakin ada “setan dingin” yang berbisik di telingaku:
No comments:
Post a Comment