Tuesday, April 14, 2015

Day 2nd - Mengejar Sakura Japan Trip - Narita - Kayabacho - Odaiba



Minggu, 29 Maret 2015

Semburat sinar merah sang mentari membangunkanku dari tidur yang jauh dari kata nyenyak.
Pukul 05.30 pagi. Di luar jendela, yang terlihat hanyalah gumpalan awan—tebal, putih, dan seolah tak berujung. Tak lama kemudian, lampu kabin menyala. Sang kapten mengumumkan bahwa suhu udara di Narita saat ini 9°C dan kami dijadwalkan mendarat pukul 08.00 pagi.

Sesuai janjinya—Kapten yang namanya Indonesia banget tapi logatnya Malaysia sejati—pesawat mendarat dengan mulus di Terminal 2 Bandara Internasional Narita, tepat pukul 08.00. Lebih cepat 30 menit dari jadwal.

Begitu melangkah keluar dari pesawat, udara dingin langsung menyergap tanpa ampun. Spontan, aku melilitkan syal ke leher, berusaha menjauhi gigil. Kami diangkut dengan bus menuju terminal kedatangan. Namun begitu pintu bus tertutup, udara dingin mendadak tergantikan oleh panas yang tidak bersahabat—dan aroma tajam khas manusia yang belum mandi. (Mungkin bauku sendiri 😷)

Sampai di pintu kedatangan, kami langsung disambut pemandangan klasik bandara internasional: antrean imigrasi yang mengular panjang.
Seluruh petugas tampak bersiaga, sebagian berteriak-teriak dalam bahasa Jepang yang terdengar cepat dan tegas—mengatur barisan dengan gaya militer khas negeri sakura. Beberapa dari mereka berjalan menyusuri antrean, memeriksa arrival card yang tadi kami isi di dalam pesawat.

Saat akhirnya tiba di depan loket, petugas tidak bertanya sepatah kata pun. Dengan isyarat, ia memintaku menatap lurus ke kamera dan meletakkan dua jari telunjuk di alat pemindai. Beberapa detik kemudian, tanpa suara khas "tok-tok-tok" seperti di kantor imigrasi tanah air, sebuah stiker mendarat mulus di pasporku.
"Welcome to Japan," katanya.

Aku melongo. What?! Just like that?? Semudah itu...??
Muka mewek lebay plus ekspresi terharu langsung terpampang nyata. Spontan, aku membungkukkan badan sambil mengucap, “Arigato gozaimasu...” Hahaha, drama queen mode: ON.

Begitu melewati pintu keluar imigrasi, aku langsung melihat koper-koper mulai mengalir di conveyor belt. Tanpa pikir panjang, aku berlari meninggalkan teman-teman yang masih terjebak antrean, demi menyambut bagasi. 😊

Selesai urusan bagasi, kami mulai mencari bagian informasi.

Salah satu hal yang paling kusukai dari Jepang adalah keteraturan dan kemudahan menemukan apa pun. Begitu keluar dari area pengambilan bagasi, papan petunjuk bertuliskan INFORMATION langsung menyambut dengan jelas dan tidak membingungkan. Staff di sana cukup bisa memahami bahasa Inggrisku yang patah-patah, meski aku tetap harus menebak-nebak makna dari pengucapan mereka yang tak kalah patah.

Aku menanyakan dua hal: kantor penukaran JR Pass dan kantor pos. Berdasarkan informasi mereka, JR Pass Office terletak di lantai basement, sedangkan kantor pos ada di lantai 3.

Kami memutuskan untuk menuju JR Pass Office terlebih dahulu, demi menukar bukti pembelian JR Pass yang sebelumnya kami beli lewat HIS Travel di MidPlaza, seharga ¥29.110. Alasan kami membeli JR Pass sederhana: kami ingin menjelajah beberapa kota di Jepang—sementara kami bukan tipe backpacker sejati yang rela terguncang-guncang dalam bus berjam-jam, walau itu jelas lebih murah. Sombong? Sedikit.

Begitu keluar dari lift menuju basement, antrian di JR Pass Office sudah mengular panjang. Aku pun mengumpulkan semua paspor teman-temanku dan ikut mengantre.
Tepat pukul 09.35, aku akhirnya sampai di hadapan customer service. Mereka menanyakan kapan JR Pass ingin mulai diaktifkan. Aku jawab, “Hari ini.”
Lalu mereka bertanya lagi, “Mau ke mana dari Narita?”
“Stasiun Tokyo,” jawabku, karena hotel kami berada di daerah Kayabacho.

Petugas pun langsung mencetak Reserved Seat untuk keberangkatan jam 10.18 pagi, sesuai permintaanku—karena aku bilang masih harus naik ke lantai 3 dulu untuk ke kantor pos. Tak lama, mereka menyerahkan empat tiket Reserved Seat tujuan Tokyo dan empat kartu JR Pass yang bentuknya mirip kartu pos.

Petugas menjelaskan bahwa untuk menggunakan JR Pass, kami harus masuk melalui loket yang dijaga petugas (bukan gate otomatis), dan menunjukkan kartu setiap kali naik kereta JR—tanpa perlu membeli tiket lagi.

Sebagai informasi, Kereta Narita Express ke Stasiun Tokyo biasanya dikenai biaya ¥3.020 per orang. Tapi bagi pemilik JR Pass seperti kami: GRATIS.
Yup. Gratis. πŸ˜„

Tanda Terima JR-Pass
JR Pass Cover
Yuph tidak seperti Octopus atau EZ-Link, Inilah JR Pass  yang harus ditunjukkan kepada petugas JR Stasiun

Selesai dari JR Pass Office, kami langsung tancap gas ke lantai 3 menuju kantor pos untuk mengambil WiFi router yang sudah kami sewa sebelumnya via online di www.japan-wireless.com seharga ¥4.800 untuk seminggu.

Di sana, kami cukup menunjukkan email konfirmasi, dan sang petugas langsung menyerahkan satu paket kecil berisi:

  • 1 buah tas kecil
  • 1 buah router EMOBILE 3G 21Mbps (unlimited usage, bisa dipakai 5 orang sekaligus)
  • 1 lembar petunjuk penggunaan dan password
  • 1 buah kabel data
  • 1 buah power bank
  • 1 buah charger
  • 1 buah amplop balasan

Amplop balasan ini sudah lengkap dengan alamat Japan Wireless, yang nantinya akan digunakan untuk mengembalikan seluruh perlengkapan. Tinggal dimasukkan, disegel, lalu drop di kotak pos mana saja di Jepang.
Praktis banget!

Dan yang lebih menyenangkan: hemat.
Total biaya WiFi selama seminggu cuma kurang dari Rp150.000. Bandingkan dengan tarif roaming dari provider XL (eh, itu memang provider yang sudah menemani hidupku sejak zaman dinosaurus πŸ˜…) yang mengenakan Rp75.000 per hari.
Kalau dihitung-hitung, bisa hemat ratusan ribu.
Hidup Jepang! πŸ™ŒπŸ‘

Setelah urusan WiFi dan JR Pass beres, kami segera menuju JR Station yang terletak tepat di depan kantor JR.
Waktu sudah sangat mepet, jadi kami setengah berlari—karena ya, we are in Japan, negeri yang sangat menjunjung tinggi ketepatan waktu. Terlambat semenit saja bisa jadi masalah besar.

Kami mencari loket yang dijaga petugas (bukan gate otomatis), lalu menyerahkan tiket Narita Express (NEX) dan menunjukkan JR Pass kami. Petugas mengecek tanggal kadaluarsa pass dengan cepat, lalu mempersilakan kami lewat dengan senyum khas Jepang yang hangat tapi efisien.
“Please hurry. You can catch your train.”

Dan kami pun lari mengejar kereta.
Seperti drama. Tapi versi real life. πŸ˜„

NEX Ticket
Berikut cara membaca tiket Reserved Seat
  • Reserved Seat Tiket - Yuph, sebuah petunjuk kalau kita punya tiket tempat duduk :D
  • NARITA AIRPORT TERMINAL2 - TOKYO - Itu sebagai informasi bahwa kita berada di Stasiun Narita dengan Tujuan Tokyo
  • March 29 (10.18) (11.14) - menunjukkan Hari, Jam keberangkatan dan tiba
  • Car 8 - Ini kebingungan pertama yang melandaku saat membaca tiket ini, setelah diselidiki alias bertanya pada petugas, Car itu bukan berarti kamu berangkat dari Narita pakai mobil tapi bahasa keren dari Gerbong. So, carilah gerbong bertuliskan angka 8 😊
  • Seat 6-A - itu nomor kursi anda
My 1st selfie inside NEX, belum mandi😷

Limited Express Narita (NEX) melaju selama 56 menit menuju Stasiun Tokyo.
Kursinya nyaman dengan formasi 2–2, bersih dan rapi seperti baru saja disterilkan. Penjelasan diberikan dalam dua bahasa—Jepang dan Inggris—jadi kemungkinan salah turun stasiun sangat kecil… asal kamu dengar. πŸ˜…

Sepanjang perjalanan, bunga-bunga sakura berwarna putih mulai bermekaran di kejauhan. Rumah-rumah penduduk khas Jepang—rata-rata tanpa genteng mencolok—terhampar di kiri-kanan jendela.
Hening. Sepi.
Mungkin karena masih pagi. Mungkin karena ini hari Minggu.
Tapi buatku, ini terasa seperti pembukaan film.

And finally… here I am.
Welcome to Tokyo!
πŸ˜‰πŸ‘

Sesuai jadwal, kami tiba dengan selamat di Tokyo Station.

Tapi perjuangan belum selesai. Kali ini kami harus mencari Stasiun Kayabacho, tempat hotel kami, Sotetsu Fresa Inn, berada.

Berdasarkan informasi dari Hyperdia (situs andalan pengguna kereta Jepang—dan bisa didownload juga untuk Android), kami tidak bisa menggunakan JR Pass, karena harus transit di subway Otemachi (Tokyo) untuk menuju Kayabacho.
Yup, kami memang sudah di Tokyo... tapi Otemachi itu sebelah mana ya?

Entah karena bahasa Inggrisku terlalu advance, atau pengucapan Jepangku terlalu berantakan, atau memang orang Jepang bingung dengan huruf Latin, tapi banyak yang nggak paham saat aku tanya arah. Petugas subway menjelaskan dengan penuh semangat... dalam bahasa Jepang penuh gerakan tangan, sambil menunjuk-nunjuk ke peta subway.
And I'm still blank. 😭

Lalu muncullah seorang gadis cantik yang dengan ramah menawarkan bantuan untuk mengantarkanku langsung ke arah subway Otemachi.
Tapi... begitu aku melihat hak sepatunya lebih dari 15 cm, hati kecilku berontak.
"Dia bakal sengsara kalau harus jalan jauh..."
Dan aku pun menolak tawarannya dengan halus, pakai gaya #SokBaikHati.

Penampakan Hyperdia Subway Tokyo - Kayabacho via Desktop













Sekali lagi aku perhatikan Hyperdia ditanganku, Tokyo Metro Tozai Line, dari tadi aku membaca kata-kata itu disemua papan petunjuk yang kutemui saat aku cari kata Otemachi. So Otemachi ada di Tokyo Metro Tozai line, jadi yang harus kami cari adalah line tersebut. Dan berhasil!!πŸ€—
Tapi perjuangan belum selesai sampai disitu. Mesin penjual tiket yang kami temui berhuruf kanji. How to buy it ?!😭 Sedang harga tiket dari Otemachi menuju Kayabacho adalah ¥170 atau sekitar Rp20rb untuk sekali jalan (mahaaaaaaal!😭) Karena Jepang itu MAHAL, kami pun meminta seorang gadis yang lewat untuk membantu. Dan diapun menjelaskan sebagai berikut :
  • Lihat harga tiket ditabel untuk stasiun yang kita tuju, tiap stasiun ada tabel dalam bahasa Inggris dan Jepang bahkan dalam bentuk map. Tokyo - Kayabacho $170
  • Masukkan uang kertas atau receh sesuai atau lebih. Jangan khawatir, subway Jepang menerima pecahan 10.000,- 
  • Layar akan muncul nominal tujuan sentuh angka 170 (its touch & pencet screen πŸ˜†) 
  • Lalu pilih gambar orang yang ada di samping mesin. Itu menandakan jumlah tiket yang akan dibeli. Pencet jumlah tiket yang akan dibeli. Seingatku maksimal 3 tiket orang dewasa.
  • Lalu tiket akan keluar begitu juga uang kembalian. Untuk lebih jelas bisa membaca di http://www.tokyometro.jp/en/tips/metro/index.html#anc02 (Aku baru tau web ini saat membuat perjalanan ini πŸ˜† )

Petunjuk pembelian tiket via web
Contoh tiket mesin subway
Setelah tiket keluar masukan tiket kedalam subway gate dan pintu akan terbuka, lalu ambil tiket yang muncul, tiket tersebut sudah dibolongi. Lalu pada saat keluar masukan lagi tiket, pintu akan terbuka dan tiket akan ditelan. 😊

Contoh Subway tiket yang selamat karena lagi-lagi harus transit dan salah mencari subway. Kami malah menemukan JR Stasiun sehingga tiket ini jadi kenang-kenangan
Contoh Subway Gate
Keluar dari Stasiun Kayabacho, kami langsung mencari Exit 7—yang katanya cuma satu menit dari hotel. Dan ternyata, saudara-saudara... untuk menemukan Exit 7 setelah keluar dari kereta itu ibarat harus memutari seluruh isi stasiun.

Mata sudah ngantuk, perut kosong, dan tangan sibuk mendorong koper. Jadi saat melihat tangga, rasanya seperti menatap tembok Gunung Fuji versi vertikal. Entah kami yang salah arah, atau mata kami memang sedang dibutakan lelah dan lapar... tapi kami benar-benar tidak bisa menemukan jalan tercepat ke Exit 7.

Tapi memang benar: begitu berhasil keluar dari pintu itu, cukup berjalan ke arah kiri dan dalam satu menit, kami menemukan Sotetsu Fresa Inn Kayabacho—hotel kami yang manis dan mungil itu.

Sebelumnya, aku sempat booking dua hotel sekaligus: satu via Agoda dan satu lagi via Booking.com. Hotel dari Booking sebenarnya jauh lebih dekat dari JR Stasiun. Tapi apa daya, saat hendak membatalkan hotel yang dibooking via Agoda, ternyata ada charge $15, dan ranjangnya pun terasa terlalu kecil untuk dua orang.
Akhirnya, kami memutuskan tetap menginap di Sotetsu Fresa Inn Kayabacho dengan harga Rp3.583.326 untuk dua kamar selama dua malam, sudah termasuk sarapan.

Tapi... seperti hotel Jepang pada umumnya, waktu check-in standar adalah pukul 15.00, sedangkan saat itu baru jam 12.30 siang.
Jadi yang bisa kami lakukan hanyalah menitipkan koper, lalu keluar hotel tanpa arah yang pasti.

Rencana awal untuk pergi ke Ueno Park dan melihat bunga sakura terpaksa kami batalkan.
Keinginan untuk mandi dan makan terasa jauh lebih mulia ketimbang mengejar sakura di tengah kondisi fisik yang sudah setengah zombie.

Akhirnya kami pun berjalan-jalan seadanya di sekitar hotel yang... ya, sepi sekali, mungkin karena hari Minggu.
Tanpa tujuan. Tanpa arah.
Tapi yang penting: tidak menyeret koper lagi. πŸ€”πŸ˜…


Kami berjalan tanpa tujuan. Tujuannya jelas: mau makan. Tapi... mau makan di mana? Itu yang kami nggak tahu..

Ketemu bunga mawar warnanya rada beda, langsung keluarin tongsis.
Lapar lupa, yang penting foto dulu. πŸ˜„πŸŒΉπŸŒΉ

But eiiits… di antara lorong-lorong, tiba-tiba sakura memanggil. Kami pun berlari mengejar, dan ternyata dia nongkrong manis di taman kecil—fully bloomed! 😊
Oh Tuhan.. Kelopaknya yang putih pink seakan menyihir perut kami. Rasa lapar yang tadi menggoda tiba-tiba hilang. Terpesona dan harus diabadikan. Ayo angkat tongsis tinggi2. Cekrek 😊

Taman Sakura
Bunga Sakura
Seorang bapak yang sedang hanami bersama keluarganya menawarkan untuk memfoto kami. Jangan ditolak—hasilnya bagus banget
Terpesona tingkat 1
Terpesona tingkat lebay :D
Ada tulip πŸŒ·πŸ˜™
Bunga lain ditaman

Saking terpesonanya pada sakura, kami sampai lupa waktu—ternyata sudah pukul 14.30. Hebat, kan? Lupa waktu gara-gara bunga. 😊

Kami pun segera berjalan menuju Family Mart terdekat untuk mencari pengganjal perut.
Penjaganya sangat ramah dan membantu kami memilih makanan tanpa babi, yang rata-rata harganya di atas 300 Yen.

Aku dan Hermin langsung melahap makanan di dalam Family Mart setelah minta dipanaskan.
Sementara Mbak Rahmah dan Mbak Yenni memilih opsi hemat dan berjiwa nusantara: beli nasi only seharga 130 Yen, lalu makan dengan rendang dan sambel kacang bawaan dari Indonesia.
Legenda bekal Tanah Air memang tak terkalahkan. πŸ›πŸ”₯


Berbagai makanan yang ditawarkan Family Mart
Selamat Makan 🍜

Kami pun kembali berjalan ke hotel, dan akhirnya resepsionis mengizinkan kami masuk kamar. Katanya, pembayaran sudah otomatis dipotong dari kartu kredit—hadeeh, bakal banyak duit lebih nih... #Sokkaya πŸ˜…

Begitu masuk kamar, kesan pertama: bersih, harum, dan kecil tapi manis.
Satu double bed ukuran sedang, heater, AC, TV, empat cangkir, green tea, boiler alarm, tisu, dan dua baju tidur rapi di atas ranjang.

Di kamar mandi, perlengkapan lengkap: toiletries, hair dryer, handuk mandi & rambut, closet canggih (yang butuh pelatihan dulu), bathtub, dan air panas yang nggak habis-habis, padahal aku berendam hampir 2 jam. Hahaha.

Dan yang bikin hotel ini makin sempurna: WiFi-nya super ngacir.
Satu kalimat untuk Sotetsu Fresa Inn Kayabacho?
Nyaman. Titik.


Keadaan luar hotel 
Fasilitas Kamar
Bathroom
Closet  (Belajar dulu cara pakenya 😊 )
Fresa Girl (Serasa tukang pijet hahhaha)

SSetelah selesai beres-beres dan mandi, kami pun keluar lagi dari hotel menuju Odaiba—pulau buatan yang terletak di Teluk Tokyo.

Rute Subway menuju Odaiba

Dari Kayabacho, kami transit dulu di Nihombashi lalu mencari Asakusa Line. Setelah itu transit di Shimbashi, baru lanjut naik Yurikamome Line sampai turun di Odaiba-Kaihinkoen.

Kelihatannya gampang, ya? Tapi kenyataannya, mencari jalur itu butuh konsentrasi tinggi dan jalan kaki yang lumayan—#olahragaterpaksa.

Gerimis turun perlahan, membuat langkah kami semakin pelan karena udara makin dingin.



Sebenarnya tujuan kami ke Odaiba selain mencari Rainbow Bridge, replika Liberty Statue, dan Gundam, tapi udara dingin yang menusuk tulang membuat langkah kami yang bukan backpacker sejati itu terhenti. Kami pun memutuskan balik ke stasiun dan melanjutkan perjalanan ke Akihabara.

Dari Odaiba, kami transit di Shimbashi dengan membayar 320 Yen, lalu naik JR Yamanote Line (Inner Loop) menuju Akihabara—gratis dengan JR Pass. Sampai di Akihabara, kami keluar lewat exit Akihabara Electric Town, disambut oleh pertokoan berlampu warna-warni yang menggoda mata.

Aku berencana membeli handphone di sini, karena info dari beberapa blogger menyebut harga cukup murah. Pilihanku jatuh pada Sony Z3 yang dihargai 10.000 Yen. Aku menatap dan membolak-balik price tag itu berkali-kali, tapi harganya tetap: 10.000 Yen, alias sekitar satu juta rupiah lebih. Sedangkan iPhone 6 Plus ditawarkan dengan harga 65.000 Yen. Oh God, pantas saja hampir semua warga Jepang pakai iPhone 6—harganya benar-benar tragis! 😊

Masih belum percaya, aku meninggalkan Z3 itu tanpa bertanya pada salesnya. πŸ˜†




Lapar yang tiba-tiba menyeruak menghentikan perjalanan kami hari itu. Kami pun bergegas menuju JR Akihabara untuk pulang ke hotel di Kayabacho.

Sesampainya di Kayabacho, aku ingat pernah melihat tulisan EXIT 4A saat membeli tiket di konter EXIT 7 tadi. Kami pun coba-coba melangkah ke sana—kalau salah, anggap saja olahraga; kalau benar, tidur pun lebih cepat! πŸ˜„

Ternyata benar, hotel kami berada tepat di seberang jalan dari exit 4A. Jadi, bagi yang menginap di sini, tipsnya:
Masuk dari exit 7 kalau mau ke kota, keluar dari exit 4A kalau pulang ke hotel. Hehehe.

Di lampu merah Kayabacho, kami melihat Family Mart yang seperti memanggil-manggil untuk mampir. Mbak Rahmah mengingatkan kami tentang rendang dan sambal kacang bawaan dari Indonesia. Akhirnya kami membeli nasi saja dan makan lauk dari Indonesia.

Setelah makan dan kembali mandi dengan berendam air hangat, aku pun tertidur lelap, mengumpulkan tenaga untuk petualangan esok hari melihat Gunung Fuji.

Selamat malam, Kayabacho, Tokyo.



8 comments:

  1. Permisi neng,Saya tertarik baca Z3 di comment hanya 10.000 yen?
    Itu beli di mana ya??Tokonya namanya apa sis??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya namanya Labi, tapi yah itu hanya dijual kepada orang jepang dan hanya bisa dipakai di Jepang.. *meweksirik :)

      Delete
    2. Lho kamu udah beli,dan tidak dapat di pakai di Indonesia?

      Delete
    3. Lho kamu udah beli,dan tidak dapat di pakai di Indonesia?

      Delete
    4. Aku gak beli, mundur teratur. Baca deh di next post aku :))

      Delete
    5. Boleh minta link next post kamu?Thanks

      Delete
    6. Boleh minta link next post kamu?Thanks

      Delete
  2. travel writter sejati dech eneng ...

    ReplyDelete